Property of Getty Images |
*Oleh Irvan Ridwansyah*
Dari Ellis Park Stadium, Johannesburg, Wasit dari Mali, Coulibaly meniup peluit tanda pertandingan dari Grup C, antara Slovenia melawan Amerika Serikat telah digelar. Predikisi pertandingan mengabarkan bahwa permainan akan didominasi oleh AS. 55-45 untuk AS. Slovenia pada menit-menit awal bermain dominan dan berhasil membendung serangan yang dibangun oleh AS. Formasi 4-4-2 yang dipakai oleh Matjaz Kek (Slo) dengan dua striker murni, membuat Slovenia tampil agresif dan menyerang. Slovenia pun mampu mebuat pertahanan AS yang dipimpin oleh Onyewu sedikit berantakan. Sedangkan, pihak AS tetap memakai formasi 4-4-2 dengan Donovan dan Dempsey menjadi kreator serangan AS. Namun, Dempsey di sisi kiri tidak banyak beraksi akibat ruangnya ditutup rapat oleh Koren dan Radosavljevic.
Masuknya Torres di starting line-up AS juga mengejutkan banyak prediksi berbagai pihak. Hal ini memberi jaminan bahwa lini tengah AS akan semakin solid dan tampil menyerang dengan duet Bradley-Torres. Tapi, yang terjadi malah lini tengah Slovenia yang lebih agresif, berkat kerjasama Birsa-Koren-Radosavljevic dan Kirm di tengah dan sisi lapangan. Dan hasilnya adalah gol yang sangat indah diciptakan oleh Valter Birsa di menit 13’. Howards terbukti mati langkah ketika mencoba membaca alur serangan yang sedang dibangun Slovenia, hingga akhirnya Birsa mampu melihat celah untuk melakukan direct shoot yang terarah ke ujung kiri gawang Howards. Gol ini merupakan salah satu gol tercantik yang lahir di putaran grup World Cup 2010.
Permainan Slovenia yang berusaha mencuri angka di menit-menit awal terbilang berhasil. Lini depan Slovenia menjadi lebih hidup berkat hadirnya Ljubijankic yang menggeser Zlatko Dedic di starting line-up. Pemain yang bermain untuk Klub Belgia, FC Gent ini, mempunyai karakter pekerja keras. Akhirnya, Ljubijankic pun berhasil meyakinkan pendukung Slovenia dengan aksinya pada menit 42’ yang memanfaatkan umpan terobosan dari sebuah counter attack. Gol ini merupakan akibat dari keasyikan AS dalam menyerang di menit-menit akhir babak pertama. Babak pertama ditutup dengan skor 2-0, dengan penguasaan bola imbang. Kedua kubu saling melakukan pressing, counter attack dan kontak fisik.
Dilihat dari skor 2-0, AS bukan tanpa peluang. Tendangan bebas Torres di menit 36’ masih mampu dihadang oleh Handanovic. Begitu pula, serangan yang dibangun oleh Findley pada menit ke 40’ menghasilkan kemelut yang belum mampu dimaksimalkan oleh Altidore menjadi sebuah gol. Babak kedua merupakan keajaiaban bagi AS. Permainan AS lebih berkembang. Biarpun peran Dempsey tidak terlihat di sisi kiri, Michael Bradley mampu mengisi kekosongan itu, sehingga lini tengah AS jadi lebih kreatif. Permainan yang ditampilkan Michael Bradley, yang merupakan anak dari pelatih AS (Bob Bradley), sangat efektif dan mengingatkan saya dengan permainan gelandang Manc. City, Ireland ataupun Cambiasso di Inter Milan. Gelandang pemecah kebuntuan!. Ketiganya pun sama-sama berkepala plontos.
Keajaiban AS diawali dari aksi Donovan di menit 48’ yang memanfaatkan kesalahan bek Slovenia, Cesar di sisi kiri Slovenia. Berkat solo run-nya yang diakhiri dengan tendangan keras ke dalam gawang Handanovic, AS mampu bangkit dari keterpurukannya di babak pertama. Donovan berhasil membakar semangat tim paman sam ini dan memperkecil kekalahan. Skor 2-1. Satu hal yang mengganggu saya, adalah bahwa permainan Slovenia cenderung bertahan di pertengahan babak kedua. Tepatnya setelah gol Donovan lahir dan serangan sporadis AS mulai menggila. Padahal skor masih 2-1 bagi keunggulan Slovenia. Dengan lahirnya gol Donovan, AS sepertinya tidak mau pulang tanpa membawa satu angka pun, artinya AS harus menang atau minimal seri. Lalu, Slovenia mengapa seakan-akan membiarkan AS dalam mengembangakan permainan dan serangan. Tidak terlihat adanya pressing yang ketat di lini tengah terhadap pemain-pemain AS layaknya babak pertama, ataupun tindakan ekstra dalam menutup pergerakan lawan. Ataukah memang sebenarnya, serangan yang dibangun dari The Yanks (AS) berkembang semakin hebat pada babak kedua ini?. Padahal peluit akhir babak kedua masih terbilang lama, kira-kira 25-30 menit lagi. Sisa waktu tersebut bisa saja menjatuhkan kemenganan Slovenia, dan nyatanya memang benar. AS mampu mencetak gol dan memaksa Slovenia berbagi angka dengan AS di akhir pertandingan dengan skor 2-2. Bradley-lah sang penyelamat AS sekaligus pengubur harapan Slovenia meraih tiga angka penuh demi meraih jaminan tiket ke babak ke-16 besar.
Matjaz Kek terlalu yakin akan berhasil mengamankan kemenangan dan menahan gempuran AS hingga pertandingan usai. Seharusnya Slovenia tidak perlu mengendurkan serangan dan tetap focus pada permainan menyerang. Perlu diketahui bahwa Man.Utd saja, mampu menjegal Bayern Muenchen dan kemudian merebut tahta juara Champions League pada tahun 1999 di tiga menit injury time dengan dua gol yang diciptakan oleh Teddy Sheringham dan Ole Gunnar Solksjaer. Kemudian, kita kembali ke pertandingan, gol Maurice Edu yang menyambut umpan rekannya malah dianulir wasit Coulibaly. Hingga saat ini saya masih belum mengerti letak pelanggaran yang ada di area tersebut sehingga membuat gol Edu tidak resmi. Padahal, AS bisa saja membawa pulang tiga angka penuh pada malam itu. Hal ini menjadi sebuah kontroversi yang kesekian kali di World Cup 2010 South Africa. Semoga saja kelak di partai penting lainnya tidak terjadi hal seperti ini.
Beralih ke pertandingan yang digelar di Cape Town, Green Point Stadium, partai Inggris versus Aljazair berlangsung pada pukul 20.30 waktu Afsel. Inggris memang lebih dijagokan untuk memenangkan pertandingan. Namun, kenyataannya, lagi-lagi pasukan Fabio Capello ini ditahan imbang, kali ini tanpa gol, 0-0 oleh Aljazair.The Three Lions pun menuai banyak kirtik oleh fans-nya. Tim ini penuh bintang dan mampu menciptakan berbagai peluang dari tengah maupun sisi kanan. Namun, tidak satu pun gol tercipta dari kaki sang Kapten Steven Gerrard dkk.
Formasi yang diusung oleh Aljazair adalah 3-4-3. WOW!. Begitu berani formasi dari Rabah Saadane pada pertandingan versus Inggris ini. sebuah pertaruhan bagi Saadane demi mendapatkan kemenangan di laga kedua, meskipun yang dihadapinya adalah tim kuat Inggris. Kekalahan dari Slovenia, tidak mau terulang lagi nampaknya. Pertandingan pun berlangsung sengit. Sebaliknya Ingris memakai formasi 4-4-2 dengan Rooney sebagai second striker. Gerrard pun diposisikan di sisi kiri, sedangkan lini tengah, Capello lebih mempercayakan Gareth Barry, dibandingkan Michael Carrick untuk berduet dengan Lampard. Di bawah mistar gawang pun, tampaknya Capello mengistirahatkan Green, dan memberikan kesempatan kepada kiper gaek David James. Hasilnya, tak ada bola yang masuk ke gawang Inggris berkat kepiawaian James.
Formasi Capello, yang masih mempercayai formasi dengan satu tower striker dan satu quick striker kurang efektif. Dengan keadaan Inggris yang sangat butuh kemenangan, baiknya Inggris memakai formasi 4-3-3 dengan tiga striker. Wright-Philips dan Defoe di sisi kanan-kiri, sedangkan Rooney di tengah. Mungkin serangan akan jadi lebih efektif, mengingat, Inggris memiliki empat pemain menyerang yang cepat; Rooney, Defoe, Wright-Phillips serta Lennon. Memang pragmatis, namun The Three Lions harus meraih tiga angka penuh, ditambah kemenganan yang mungkin diraih akan membuktikan bahwa Inggris memang layak tampil di babak selanjutnya.
Dari hasil statistik, dari pertandingan ini, Aljazair sedikit memimpin penguasaan bola dengan 52%, sedangkan Inggris 47%. Sebetulnya, masih terbilang imbang. Namun, Inggris mempunyai peluang tembak lebih banyak dengan 15 tendangan ke gawang. Peluang Gerrard, Rooney, lampard dan Heskey pun masih belum juga menuai hasil baik. Serangan Aljazair dari sektor kanan, melalui kerjasama Kadir-Yebda-Boudebouz setidaknya masih mampu dihalang-halangi oleh permainan Ashley Cole yang baik. FIFA pun menetapkan Ashley Cole sebagai Man of the Match. Inggris memang banyak memainkan bola di lini tengah dan sisi kanan (25% dan 19% dari total Ball Possession) lewat permainan Lennon yang rajin menyuplai bola ke Rooney maupun Heskey.
Hasil seri ini membuat peluang Inggris menjadi sangat berat. Partai selanjutnya inggris akan bertemu dengan pimpinan klasemen, Slovenia yang sudah mengemas 4 poin. Sudah tentu, posisi Slovenia belum terbilang aman, oleh karena itu, Slovenia akan tampil habis-habisan juga. Raihan poin yang kurang maksimal, 2 poin, dan produktivitas gol yang baru satu gol memasukan dan satu gol kemasukan, memaksa inggris berada di posisi ke-3 dibawah AS. Posisi ke-2 diduduki oleh AS dengan raihan poin satu juga, namun unggul dalam produktivitas gol. Partai AS selanjutnya terbilang mudah, Karena lawan yang dihadapi adalah Aljazair. Kita lihat saja, apakah Inggris mampu meraih angka penuh sehingga bisa menjadi juara grup dengan poin 5, apabila AS kalah dari Aljazair. Namun, apabila AS menang, Inggris cukup menjadi runner-up grup. Hal yang terpenting adalah inggris harus berhasil lolos, titik. Tapi, apabila Inggris meraih hasil imbang dengan Slovenia, banyak-banyak lah bagi Inggris mendoakan AS tergelincir. (Irv)
Grup D
*Oleh G.A.S*
Berita terbesar yang datang dari grup D tidak lain adalah kekalahan Jerman di tangan Serbia. Di Port Elizabeth, pasukan muda Joachim Loew dipaksa bertekuk lutut dihadapan Serbia, dengan sebuah drama kartu merah dan penalti yang gagal. Jerman turun dengan formasi dan line up yang sama seperti saat melibas Australia pada pertandingan sebelumnya. Klose berdiri di depan, Oezil tepat dibelakangnya, Muller dikanan dan Podolski di kiri, sementara Sami Khedira menjadi penyeimbang lini tengah bersama dengan Schweinsteiger. Sementara Dejan Stankovic memimpin pasukan Serbia, diapit duet sayap maut Milos Krasic di kanan dan Jovanovic di kiri, dan Nikola Zigic melengkapi skema menyerang yang diusung oleh Radomir Antic.
Berbeda dengan karakter mereka yang sering terlambat panas, tim panser langsung menemukan ritme permainan mereka sejak awal permainan, terbukti beberapa peluang melalui Khedira dan Podolski sempat mengancam gawang Stojkovic. Permainan terus berlangsung dengan tempo yang cepat, hingga akhirnya sebuah tekel dari belakang terhadap Stankovic membuat Klose di ganjar kartu kuning kedua pada menit ke 37’. Ironisnya, tepat satu menit setelahnya, sebuah umpan silang dari Krasic dari sayap kanan, berhasil disundul ke dalam oleh Zigic yang diteruskan oleh tendangan akrobatik Jovanovic dari jarak lima meter untuk menaklukkan Manuel Neuer, 1-0 untuk Serbia.
Setelah ketinggalan dan minus satu pemain, Jerman tidak mengendurkan serangannya, berkali-kali mereka mengancam gawang Serbia, termasuk tendangan keras Khedira yang hanya mampu membentur tiang gawang. Drama kedua terjadi pada menit ke 60’, setelah Vidic tertangkap basah menggunakan tangannya di dalam kotak penalti, dan tanpa ampun wasit Alberto Udiano dari Spanyol memberikan kartu kuning dan menunjuk titik putih. Podolski mengambil tendangan 12 pas tersebut, namun sayang pergerakan Stojkovic ke sisi kiri gawang ternyata tepat, tendangan penalti Podolski berhasil di amankan. Setelah itu kedua tim saling mengancam gawang lawan, namun berkat ketangguhan kedua kiper, terutama Stojkovic di sisi Serbia, skor tidak berubah sampai pertandingan berakhir. Stojkovic kemudian terpilih sebagai Man of the Match, berkat penampilan gemilangnya, sekaligus memberikan Jerman kekalahan pertama pada fase grup sejak tahun 1986.
Menarik mencermati permainan Jerman, karena saya pribadi memiliki prediksi yang cukup terbukti pada pertandingan ini (lihat Kasela #2), mengenai pembuktian kiprah Jerman. Saat menghancurkan Australia, Jerman memang bermain luar biasa, namun hal tersebut tidak lepas dari penampilan Australia yang sangat buruk. Skuad muda Jerman harus membuktikan diri mampu keluar dari tekanan lawan yang sepadan, atau paling tidak level permainannya lebih tinggi dari yang ditunjukkan oleh Australia pada pertandingan pertama. Sangat menggairahkan memang melihat bagaimana para young guns ini bermain cepat, lugas dan taktis, akan tetapi itu bukanlah jaminan kemenangan. Ada sebuah hal yang terlihat benar-benar hilang pada penampilan kedua Jerman ini, yaitu jenderal lini tengah! Kalau saya boleh berasumsi, maka saat kekalahan inilah para penggemar Jerman benar-benar merindukan sosok seorang Michael Ballack. Terlepas dari umurnya, Ballack tetap seorang dengan segudang pengalaman, yang dibutuhkan di lini tengah Jerman untuk menjadi poros lini tengah, sekaligus pemimpin bagi skuad muda Jerman. Anda bisa masukkan seluruh pemain muda terbaik di planet ini ke dalam sebuah tim, namun apabila tidak ada ‘tiang’ atau seseorang yang mampu memberi komando, mendikte permainan, dan mengawal lini tengah, anda akan mendapatkan pengalaman yang sama seperti yang dialami Jerman saat dibungkam Serbia. Ya, skuad Joachim Loew kurang pemain berpengalaman di lini tengah, yang bisa membawa keluar timnya dari situasi tertekan. Khedira dan Schweinsteiger jelas belum bisa mengambil alih peran tersebut dari Ballack.
Kita semua sadar bahwa lini tengah Jerman memiliki skill individual yang tinggi, mulai dari Mesut Oezil yang saya kagumi, Thomas Muller, Sami Khedira, Bastian Schweinsteiger dkk, akan tetapi tanpa 'tiang' yang saya maksud diatas, maka lini tengah Jerman cukup rentan. Strategi pergantian pemain yang dilakukan oleh Loew pun sedikit mengecewakan saya, Marin, Cacau dan Gomez yang masuk di babak kedua untuk menambah daya gedor terbukti kurang ampuh. Saya malah berharap Loew akan memasukkan Piotr Trochowski atau Stefan Kiessling yang lebih senior, bukan mengganggap remeh kualitas skuad muda Jerman, tetapi murni karena pengalaman mungkin bisa lebih berbicara. Mengacak-acak lini tengah dan belakang Australia tentu lebih mudah dibandingkan menerobos lini tengah Serbia yang digalang dengan baik oleh Stankovic. Mengisi tim dengan para pemain muda di ajang sebesar Piala Dunia, tentu membutuhkan sebuah keberanian tersendiri, apa yang akan dilakukan Loew? mari kita lihat bagaimana sepak terjang Jerman nantinya.
Sedangkan dari kubu Serbia, penampilan cemerlang kedua sayapnya, Jovanovic di kiri dan Krasic di kanan, ditambah solidnya kiper Stojkovic, membuat para pendukung Serbia bisa berharap banyak untuk melihat tim kesayangan mereka untuk lolos ke babak 16 besar. Hanya saja, Radomir Antic harus mewanti-wanti Nemanja Vidic untuk tidak berbuat ceroboh dan membahayakan tim. Kedua tim masih berpeluang lolos ke babak 16 besar, dan akan menjalani partai hidup-mati di pertandingan terakhir.
Beralih ke Rustenburg, Ghana membuang peluang emas untuk memastikan diri lolos ke babak berikutnya, setelah ditahan imbang oleh Australia. Berbekal rasa penasaran dan pembuktian untuk memperbaiki kualitas penampilan, Socceroos mengambil alih permainan sejak menit awal dan terus memberikan ancaman yang konsisten ke gawang Ghana. Baru menit ke 11’, Australia sudah unggul melalui Holman, memanfaatkan bola rebound hasil tendangan bebas yang kencang dari Mark Bresciano.
Tersengat oleh gol tersebut, Ghana pun bangkit dan beberapa kali mengancam gawang Schwarzer, puncaknya adalah ketika pergerakan Ayew di sisi kiri pertahanan Australia tidak bisa dihentikan oleh kedua bek nya. Ayew yang menciptakan kemelut di depan gawang, kemudian mengirimkan umpan datar ke tengah dan disambut oleh tendangan Jonathan yang dihadang oleh tangan Harry Kewell. Penalti dan sebuah kartu merah. Gyan yang terpilih sebagai Man of the Match, sukses mengeksekusi penalti dan merubah skor 1-1. Pertandingan ini tentu mencetak sebuah rekor tersendiri, dimana Australia menjadi tim yang strikernya mendapat kartu merah dalam dua pertandingan berturut-turut, sedangkan Ghana menjadi tim yang mendapatkan penalti dalam dua pertandingang berturut-turut.
Sangat disayangkan ternyata Ghana tidak mampu mencetak gol tambahan meskipun unggul dalam jumlah pemain. Aliran bola selalu terhenti di depan para bek lawan, tendangan-tendangan dari luar kotak penalti pun tidak mampu menjebol gawang Australia. Meskipun telah menurunkan tiga stikernya, Owusu-Abeyie, Matthew Amoah dan Asamoah Gyan yang merupakan pemain Afrika ketiga yang mampu mencetak sedikitnya 3 gol dalam perhelatan Piala Dunia setelah Roger Milla (5 gol) dan Boub diop (3 gol), tetap gawang Australia tidak terjamah lagi. Justru pada 10 menit terakhir, Australia beberapa kali mengancam gawang Ghana, meskipun tidak sampai memberikan gol kemenangan, strategi pergantian pemain yang dilakukan Pim Verbeek cukup baik. Australia akan berjumpa sang pimpinan klasemen, Serbia pada pertandingan terakhirnya, sedangkan Jerman akan bersua dengan Ghana. Peluang masih terbuka lebar, dengan angin prediksi sedikit mengarah kepada Jerman dan Serbia sebagai wakil dari grup D, kita tunggu kelanjutannya. (G.A.S)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar