Pages

Rabu, 23 November 2011

Grup E & F

Pembaca setia Kasela yang budiman,

Tak terasa edisi ke tujuh telah mengudara, kami dari meja redaksi Kasela ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas perhatian, respon, kritik maupun saran yang akan terus membuat Kasela berkembang. Tanpa para pembaca sekalian, tentu Kasela tidak akan pernah hadir di wall anda semua, sekali lagi terima kasih! Edisi kali ini akan mengupas habis review partai kedua dari Grup E & F, lengkap dengan analisanya, selamat menikmati!
- Redaksi Kasela -

Grup E
Oleh Irvan Ridwansyah


Belanda versus Jepang mengawali partai dari Grup E, 19 Juni 2010. Bertanding di stadium Durban, suhu setempat 22°C dan teriknya matahari, membuat stamina pemain terkuras. Babak pertama diawali dengan penguasaan bola Belanda di lini tengah dengan Sneijder yang menjadi playmaker Belanda. Meski minus Robben, Belanda masih mampu bermain menyerang baik dari sisi kiri dan kanan. Demi, memecah kosentrasi pertahanan jepang yang solid, Kuyt dan Van Der Vaart kerap beberapakali bertukar posisi. Sneijder pun sesekali menusuk pertahanan Jepang lewat passing-nya ke Van Persie dari lini tengah. Permainan Belanda cukup konsisten dari babak pertama hingga babak kedua berkahir. Bahkan dari segi ball possession, Belanda unggul dengan 61%-39%. Serangan yang di bangun Van Bommel dkk ini, memaksa 10 pemain Jepang berada di dalam setengah lapangan. Artinya, jepang betul-betul berkosentrasi pada pertahanannya, dan mencoba mencuri serangan lewat counter attack.

Sejak babak kedua dimulai, serangan Belanda pun tidak lekas kendur. Formasi 4-2-3-1 Van Marwijk harus menghadapi lima gelandang Jepang yang disiplin; Abe-Endo-Matsui-Okubu-Hasebe. Rapatnya pertahanan Jepang pun, membuat Belanda harus menciptakan peluang lewat tendangan jarak jauh, karena memang tusukan yang dilakukan Belanda lewat Van Der Vaart dan Kuyt di sisi kiri, kanan mengalami jalan buntu. Celah yang dimanfaatkan oleh Wesley Senijder adalah long Shoot-nya yang keras membuat bola sempat dihadang oleh Kawashima namun malah memantul ke dalam dan bersarang di mulut gawang jepang. Skor 1-0 untuk Belanda hingga akhir pertandingan. Konsistensi Belanda dalam tempo menyerang ternyata mampu membuahkan hasil yang maksimal. Kemenangan!. Jepang hanya kurang mujur, tim yang dihadapinnya adalah tim dengan pemian berkelas. Menariknya, dalam pertandingan ini, Sneijder untuk kedua kali menjadi Man of the Match versi FIFA.

Sedikit informasi, bahwa, ringannya bola Jabulani membuat beberapa pemain melakukan long Shoot yang mungkin bisa memecah kebuntuan akibat ketatnya pertahanan lawan. Hasilnya, gol semata wayang Sneijder pada pertandingan ini telah mendukung asumsi itu. Dan masih banyak lagi, antara lain gol Diego Forlan ketika menghadapi Afsel, Robert Koren dari Slovenia, Clint Dempsey dari USA. Artinya, Jabulani bisa memberi mimpi buruk bagi kiper-kiper yang berlaga di World Cup 2010. Berbagai pihak berpendapat bahwa pergerakan Jabulani tidak stabil dan sulit untuk dijinakkan. Lalu, apakah inovasi terhadap bola sepak selama ini masih dalam batas wajar?? Apa pembelaan FIFA? Kita tunggu saja.

Partai selanjutnya, tim Kamerun dipulangkan oleh Denmark lebih awal. Tim ini sebetulnya sudah sama-sama menelan kekalahan pada laga perdana. Oleh sebab itu, pertandingan sempat diprediksikan berjalan sengit dan penuh dengan perang taktik. Dari pengamatan saya, menurut data statistic FIFA menunjukan bahwa Kamerun sedikit lebih mendominasi penguasaan bola dengan 54%,sedangkan Denmark 46%. Tendangan mengarah gawang banyak terjadi, total ada 23 untuk Kamerun dan 13 untuk Denmark. Dengan hasil akhir 1-2 untuk kemenangan Denmark, Kamerun tim pertama di grup E yang harus menerima pil pahit, yakni tersingkir di World Cup 2010 dengan dua kekalahan beruntun.

Dua gol Denmark yang diciptakan oleh Nicklas Bendtner pada menit ke-33’ dan Dennis Rommedahl pada menit ke-61, tercipta dari serangan balik yang cepat dan efektif. Lengahnya pertahanan kamerun yang diisi oleh Assou-Ekoto, Bassong, Mbia serta Nkolou tidak setangguh pemain bertahan Denmark; Agger-Kjaer. Meskipun, Overall, Denmark bermain jauh dari harapan, Daniel Agger pun menjadi Man of the Match pada laga tersebut. Sebelum dua gol balasan Denmark, kesalahan C. Poulsen pada menit ke-10, dengan mudah dimanfaatkan oleh Samuel Eto’o sehingga Kamerun unggul di awal babak pertama. Pelatih Denmark, Morten Olsen menaruh Gronkjaer di lini tengah bersamaan dengan Jorgensen dan C. Poulsen. Sedangkan sisi kanan dan kiri diisi oleh sang kapten John Dahl Tomasson dan Rommedahl. Dan Bendter adalah striker tunggal. Sekilas formasi ini menjanjikan permainan yang menyerang dengan empat pemain berkarakter menyerang di sektor tengah, yakni Jorgensen-Gronkjaer-Tomasson dan Rommedahl. Namun, nyatanya Kamerun-lah yang tampil lebih menyerang. Denmark lebih banyak bertahan dan mengandalkan serangan balik yang cepat. Alhasil Olsen belum puas dengan permainan Tim Dinamit ini.

Hitung-hitungan di Grup E jadi sedikit jelas. Belanda sudah memastikan timnya masuk di babak 16 besar dengan raihan poin enam. Lalu, posisi runner-up jadi rebutan Denmark dan Jepang. Next Match, Jepang akan meladeni Denmark. Ini adalah partai hidup dan mati. Jepang hanya butuh hasil imbang, mengingat selisih dari gol memasukan dan kemasukan adalah nol. Sedangkan Denmark harus meraih kemenangan, karena selisih dari gol memasukan dan kemasukan adalah minus satu. Alhasil Denmark harus meraih poin penuh, titik. Lalu, bagaimana nasib Kamerun? Yang jelas Kamerun akan tampil sportif. Tetap bermain dengan baik, mengingat target yang akan diraih adalah kehormatan. Kamerun tidak ingin dipermalukan dengan tidak meraih kemenangan satu kali pun. Sebaliknya, Belanda akan memakai pemain lapis dua di starting line-up demi mengistirahatkan pemain utamanya dan memberi kesempatan pada Huntelaar dkk. Pastinya, pertandingan Jepang kontra Denmark akan menjadi pertandingan hidup dan mati. Mungkin kah tim dinamit melaju ke babak 16 besar, ataukah tim samurai? We’ll see. (Irv)

Grup F
Oleh G.A.S


Paraguay mengklaim kemenangan pertama mereka di perhelatan Piala Dunia 2010, sekaligus membuka peluang menuju babak 16 besar melalui kemenangan 2-0 atas Slovakia di Free State Stadium, Bloemfontein. Turun dengan tiga penyerang, Lucas Barrios, Santa Cruz dan Valdez, Paraguay langsung mengambil insiatif serangan dan terus menekan pertahanan Slovakia, hasilnya pada menit ke 27’, sebuah umpan pendek dari Lucas diselesaikan dengan kaki bagian luar Enrique Vera, yang menembus gawang Jan Mucha, 1-0 untuk Paraguay. Vera yang bermain di liga Ekuador bersama De Quito, kemudian terpilih sebagai Man of the Match. Setelah gol tersebut, Slovakia yang memisahkan diri dari Czechoslovakia pada 1 Januari 1993, sempat bangkit dan terus berusaha menyerang, namun pressing ketat dari para pemain Albirroja membuat lini tengah Slovakia meredup dan berakibat putusnya jalur serangan ke lini depan. Walhasil Vittek yang dipasang sendirian dan didukung oleh Kozak, Sestak dan Weiss dalam formasi 4-2-3-1, kurang memberikan ancaman pada gawang Justo Villar. Perlawanan Slovakia dihentikan pada menit ke 86’ oleh gelandang Cristian Riveros yang bermain di klub Mexico Cruz Azul, melalui golnya yang memanfaatkan kemelut di depan gawang Slovakia. Pada pertandingan ini, Slovakia tampil tanpa ‘nyawa’, gelandang kreatif yang banyak dipuji oleh media, Marek Hamsik tampil off-form sehingga tidak banyak melakukan pergerakan ataupun umpan-umpan yang berbahaya, seperti yang seringkali ia lakukan bersama klubnya, Napoli.

Sebaliknya, Paraguay seringkali melakukan kerjasama yang cukup membahayakan, terutama melalui pergerakan Vera dan Lucas Barrios yang sering menjemput bola ke tengah. Secara keseluruhan, pergerakan para pemain Paraguay patut diacungi jempol, para pemain depan tidak segan untuk turun saat mereka kehilangan bola, ditambah jarak antar lini yang secara konsisten dijaga oleh para gelandang dan bek mereka. Hal ini sebenarnya telah mereka peragakan saat berjumpa Italia pada pertandingan pertama, pada saat itu para punggawa Azzuri terlihat kesulitan menerobos pertahanan Paraguay, kehadiran Caceres sebagai holding midfielder bersama dengan duet bek Alcaraz dan Da Silva membentuk sebuah tembok kokoh di depan gawang Villar. Sedangkan Slovakia yang tampil kurang menggigit seharusnya mulai memikirkan bagaimana mengalirkan bola dari tengah ke depan, saat berhadapan dengan sang Juara Dunia, Italia, di pertandingan terakhirnya. Paraguay seharusnya sudah bisa santai menghadapi jawara Oceania, Selandia Baru di pertandingan terakhir, hasil seri cukup untuk membawa mereka lolos ke babak selanjutnya.

Ada fakta menarik dari tim Slovakia, yaitu pelatih mereka Vladimir Weiss adalah putra dari mantan pemain internasional Czechoslovakia yang juga bernama Vladimir Weiss. Dan ternyata, Vladimir Weiss sang pelatih, merupakan ayah dari pemain Slovakia yang bermain Piala Dunia 2010, mengenakan kostum bernomor 7 dan bermain di Man.City, yang bernama....Vladimir Weiss!! What the..........

Pada pertandingan kedua grup F di Nelspruit, Selandia Baru berhasil mencatat sebuah berita besar, saat menahan imbang juara bertahan Italia 1-1. Turun dengan formasi 4-5-1 dengan Smeltz digantung sendirian di depan, Selandia Baru membuka cerita indah mereka saat pertandingan baru berjalan tujuh menit. Sebuah tendangan bebas tidak langsung dari sisi kanan pertahanan Italia menyentuh Cannavaro, bola liar disodok oleh Smeltz tanpa kesulitan ke gawang Marchetti, 1-0 untuk Selandia Baru. Tertinggal satu gol, Italia langsung menggebrak, beberapa peluang didapatkan oleh Gli Azzuri, salah satunya adalah ketika tendangan keras Montolivo dari luar kotak penalti hanya mampu membentur tiang gawang Mark Paston, yang bermain untuk Wellington Phoenix di liga lokal Selandia Baru. Satu menit kemudian, Italia mendapatkan penalti saat Tommy Smith tertangkap menarik kaus De Rossi yang terjatuh saat akan menyongsong sebuah umpan silang. Vincenzo Iaquinta dengan tenang mengeksekusi penalti yang salah dibaca oleh Paston.

Setelah itu Italia terus melakukan tekanan ke gawang Selandia Baru, namun sayang, sampai pertandingan berakhir, skor akhir tetap tidak berubah. Di awal babak kedua, Lippi langsung mengganti Pepe dengan Camoranesi, dan menarik Gilardino yang tampil sangat buruk untuk kemudian menukarnya dengan Di Natale. Dengan masuknya kedua pemain yang lebih sering bermain melebar ini, serangan Italia difokuskan pada serangan melalui sayap, namun sayang beberapa kali Iaquinta menyia-nyiakan peluang, masuknya Pazzini menggantikan Marchisio pun tidak banyak memberi perubahan yang berarti bagi Italia. Di sisi lain, setelah unggul melalui gol cepatnya, Selandia Baru tampil defensif dan berusaha sekuat tenaga untuk menahan gempuran para pemain Italia. Strategi Ricki Herbert yang menginstruksikan pemainnya untuk bertahan total terbukti ampuh untuk menghalau serbuan Italia. Sebuah malam yang luar biasa bagi the Kiwis, dalam penampilan keduanya di Piala Dunia (yang pertama terjadi pada tahun 1982 di Spanyol, saat Italia menjadi juara dunia).

Saya pribadi melihat bahwa apa yang diperagakan oleh Selandia Baru adalah murni permainan negatif (baca: negatif football). Kenapa negatif? Ada beberapa argumen yang saya lengkapi dengan fakta menarik tentunya. Pertama adalah, karena sejak Shane Smeltz berhasil menceploskan bola ke gawang Marchetti melalui sebuah set-piece yang dibantu oleh blunder Cannavaro di menit ke 7’, praktis The All Whites hanya bergerak di sekitar daerah mereka sendiri. Tercatat hanya satu kali peluang yang didapat via tendangan Wood yang melenceng tipis dari gawang Italia, dan itu dilakukan pada menit ke 83’!. Kedua adalah statistik pertandingan, dimana total tendangan ke gawang yang terjadi adalah 26 kali, dimana 3 diantaranya dapat diklaim oleh Selandia Baru. Penguasaan bola masih dimenangi oleh Italia dengan prosentase 57%, dan terakhir adalah tendangan penjuru yang dimiliki oleh Italia sebanyak 15 kali, sementara Selandia Baru nol!. Yang terakhir, dan mungkin kita semua melihatnya di akhir pertandingan adalah bagaimana ekspresi para pemain dan pelatih Selandia Baru saat peluit akhir dibunyikan. Ya, mereka terlihat mengepalkan tangan dan gembira akan hasil yang diraih, sebuah bukti yang cukup untuk meyakini bahwa hasil seri adalah tujuan mereka dan bisa dianggap sebagai sebuah kemenangan. Bagaimana menurut anda, para pembaca setia Kasela?

Terlepas dari permainan negatif yang diperagakan oleh Selandia Baru, Lippi tampaknya harus melakukan pembenahan dalam skema pertahanan Italia. Dua kali Italia kebobolan melalui tendangan bebas tidak langsung, oleh dua tim yang berbeda. Insting bertahan Cannavaro, yang merupakan salah satu dari 18 pemain yang telah bermain di empat piala dunia yang berbeda, mungkin sudah menumpul. Ada baiknya Lippi melirik bek muda berbakat yang menjadi incaran klub-klub Eropa, Leonardo Bonucci untuk berduet dengan Chiellini di lini belakang. Gilardino yang masuk starting line up dalam dua pertandingan Italia, bermain kurang efektif dan jarang sekali menyentuh bola, Lippi mungkin harus memasukkan Giampaolo “Pazzo” Pazzini (Pazzo dalam bahasa Italia, artinya: gila) sebagai target-man sejak awal sebagai alternatif dari Gilardino. Lini tengah saya rasa sudah cukup baik, De Rossi bahu membahu bersama Montolivo dan Marchisio. Lippi juga mungkin harus segera menampilkan kembali strategi Catenaccio, dalam pertandingan hidup mati melawan Slovakia. Sebaliknya Selandia Baru mungkin ingin tetap bermain aman saat melawan Paraguay, dengan menempatkan satu orang penyerang di depan, sementara sisanya bertahan. Sebuah fakta menarik juga muncul dari tim ini, ada dua orang pemain Selandia Baru yang tidak memiliki klub namun tetap masuk skuad Piala Dunia, mereka adalah Simon Elliot kelahiran tahun 1974 dan Dave Mulligan kelahiran tahun 1982. Mereka bergabung bersama Craig Moore dari tim Australia yang juga tidak memiliki klub. Diluar itu semua, yang pasti persaingan di grup F ini masih terbuka lebar, dengan keempat tim masih memiliki peluang yang sama besar untuk lolos. Menarik bukan? (G.A.S)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar